Beranda | Artikel
Wa Bihi Nastaiinu
Rabu, 12 Oktober 2016

Bismillah.

Setiap hari di dalam sholat, kita selalu membaca ayat yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.”

Dua buah kalimat yang sangat berharga bagi seorang muslim. Pada kalimat pertama tersimpan pelajaran tauhid dan akidah yang sangat mulia. Dimana seorang muslim tidak akan mempersembahkan ibadah dalam bentuk apa pun selain kepada Dzat yang telah menciptakan dirinya dan memberikan nikmat tak terhingga kepadanya.

Sebab ibadah adalah hak Allah semata; tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah kecuali Dia. Oleh sebab itulah Allah memerintahkan ibadah dan menyertainya dengan larangan dari perbuatan syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun juga.” (an-Nisaa’ : 36)

Pada kalimat kedua tersimpan mutiara iman dan pelajaran hati yang tidak terkira; bahwa setiap hamba tidak boleh bersandar dan bergantung kecuali kepada Rabb yang telah menciptakan jagad raya dengan segala isinya. Dia lah Allah tempat kita memohon dan mengharapkan segala kebaikan dan berlindung dari segala keburukan. Hanya Allah tempat kita meminta bantuan dan pertolongan dari segala kesulitan dan marabahaya yang mengancam kita. Tanpa bersandar kepada Allah dan memohon pertolongan-Nya maka kita tidak bisa melakukan apa-apa.

Itulah yang tercermin dalam kalimat dzikir -yang disebut sebagai salah satu perbendaharaan surga- yaitu kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah; tiada perubahan dan kekuatan selain dengan bantuan Allah. Inilah maksud dari kalimat yang berbunyi ‘wa iyyaaka nasta’iin’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Inilah kedudukan dan posisi seorang hamba di hadapan Rabbnya. Sesuatu yang seringkali kita lupa atau melalaikannya.

Karena itulah kita dapati sebagian ulama menyebutkan di awal kitabnya setelah bacaan basmalah, mereka juga menyebutkan kalimat ‘wa bihi nasta’iinu’ yang artinya, “Dan kepada Allah semata, kami memohon pertolongan.” Sebagaimana yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di awal kitabnya al-Kaba’ir (lihat Kitab al-Kaba’ir dengan tahqiq Syaikh Prof. Dr. Basim bin Faishal al-Jawabirah hafizhahullah, hal. 25)

Demikian pula dalam sebagian naskah Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dimana pada awalnya beliau mengatakan setelah basmalah, “Dan kepada-Nya semata kami memohon pertolongan dan kepada-Nya pula kami bertawakal.” (lihat matan Kitab at-Tauhid dengan tahqiq Abu Malik ar-Riyasyi hafizhahullah, hal. 9)

Demikian pula yang dilakukan oleh Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah (wafat 1301 H) dalam kitabnya Ibthal at-Tandid bi Ikhtishar Syarh Kitab at-Tauhid. Dimana setelah menyebutkan basmalah, beliau mengatakan, ‘wa bihi nasta’iinu’ yang artinya, “Dan kepada-Nya semata kami memohon pertolongan.” (lihat Ibthal at-Tandid, hal. 13)

Hal ini semestinya membangkitkan kesadaran kita bahwasanya setiap insan selalu butuh kepada bantuan dan pertolongan Allah kapan pun dan di mana pun. Dia tidak bisa terlepas dari bantuan dan pertolongan Allah sekecil apapun masalah yang dia hadapi. Masalah dakwah yang dihadapi para ulama tentu bukan perkara ringan, karena mereka harus melihat kenyataan umat yang penuh dengan problematika dari berbagai sisi. Tentu tidak ada yang bisa dijadikan sandaran selain Allah yang telah menciptakan jin dan manusia dalam rangka tunduk beribadah kepada-Nya.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/wa-bihi-nastaiinu/